Matahari tampak bersinar cerah,
akhirnya gadis yang hari ini sedang berulang tahun yang ke 17 tiba di rumah
kontrakan yang tidak jauh dari sekolah barunya. Ya, Azita baru saja
menginjakkan kakinya ke kota setelah ia meninggalkan kampung halamannya dan melanjutkan
SMA nya disini. Berat rasanya meninggalkan orang-orang yang ia sayangi di
kampung, tapi karena orang tuanya menginginkan yang terbaik untuk masa depan
anak semata wayangnya, Azita terpaksa harus hidup mandiri dan mewujudkan
impiannya menjadi seorang pelukis.
“Jadi ini rumah kontrakanku”, katanya
setelah mencocokkan alamat serta nomor rumah yang tertera di pagar yang terbuat
dari beton itu. Tapi, Azita menoleh ke rumah tepat di sebelah rumah
kontrakannya.
“Rumah itu nomor 19 juga?”, kataku
bingung.
Azita melihat sosok laki-laki yang
tampak sebaya dengannya baru saja tiba di depan rumah tersebut. Ia
memberhentikan motornya untuk membuka pagar rumah. Azita memandang laki-laki
yang bertubuh tinggi menjulang kira-kira 180cm. Jika Azita berdiri disampingnya,
ia akan tampak kerdil dengan tubuhnya yang hanya 150cm saja. Pendek bukan untuk
ukuran seorang wanita? Paling tidak kan untuk wanita minimal 160cm.
Azita bermaksud menyapa laki-laki
tinggi itu sebelum ia masuk ke dalam rumah, tetapi laki-laki itu langsung
menarik laju gas motor sport warna hitam tersebut mengabaikan Azita yang sedang
berlari menghampirinya.
“Hei, tunggu! Bisakah aku menanyakan
sesuatu padamu?”, teriak Azita saat ia berusaha menghampiri laki-laki itu.
Tapi pagar rumah langsung ditutup dan
dikunci saat pemilik rumah megah tersebut masuk kerumah. Azita tampak kesal
dengan orang yang akan menjadi tetangganya kelak. Baru bertemu hari ini saja
sudah menampakkan kesan buruk bagi Azita. Azita menendang pagar itu dengan kaki
kanannya. Tidak terasa sakit karena pagar itu pagar besi dan ia mengenakan
ujung sepatu kets nya yang cukup keras.
“Sialan, mimpi apa aku semalam sampai
bertemu orang menyebalkan seperti dia”
Azita tidak memperdulikan nomor rumah
kontrakan ia dengan rumah megah disebelahnya itu. Sama, tapi kelihatan kok yang
mana rumah kontrakan dan yang bukan! Mana ada rumah kontrakan semegah dan
berarsitektur kelas Eropa dihargai hanya 5 juta rupiah? Kecuali kalau rumah itu
udah jadi sarang hantu!
***
Azita duduk di meja belajarnya sambil
main game di laptopnya. Bukannya membuka buku pelajaran malah asyik main game.
Azita bukan anak yang pandai di sekolah, apalagi menyangkut pelajaran. Ia bukan
siswi yang menonjol dengan segudang prestasi akademik maupun non akademik. Ia
siswi yang biasa-biasa saja tapi bukan berarti yang menjadi terbawah di
sekolahnya. Namun, Azita kelihatannya mulai bosan dengan kehidupan yang ia
jalani saat ini. Ia ingin mencoba bagaimana menjadi siswi yang memiliki banyak
keahlian dan pandai di setiap pelajaran. Karena besok ia akan mulai dengan
identitas sebagai siswi baru di SMA Airlangga, ia ingin membuat terobosan baru
dalam hidupnya. Sekali-sekali kan gimana sih rasanya jadi orang populer dan
banyak disukai oleh semua orang? Azita membayangkan bagaimana ia besok dengan
seragam barunya, teman barunya, dan lingkungan sekolah yang terasa asing
baginya. Makin lama mata Azita mulai terpejam dan ia segera pergi tidur.
Keesokan paginya, Azita sudah
bersiap-siap segera berangkat ke sekolah. Ia berulang kali menatap dirinya di cermin
kamarnya. Seragamnya terlihat sangat rapi dan bersih serta rambunya yang
sengaja ia gerai indah sebatas bahunya. Azita tidak begitu suka menghiasi
rambutnya dengan jepit rambut dan bando. Jika ia memakainya ia tampak seperti
anak kecil begitulah kata-kata temannya saat masih sekolah di kampung setahun
yang lalu.
Azita sudah sangat siap pergi ke
sekolah!
“Eh, kau?”, kataku kaget
tetangga menyebalkan baru saja keluar dari rumah dengan motor sport hitam. Ia
memakai helm dengan kaca hitam sehingga Azita tidak bisa melihat seperti apa
wajah tetangganya itu sejak kemarin. Laki-laki itu mengenakan jaket kulit hitam
dan segera naik ke motornya setelah menutup pintu pagar rumah. Ia menarik
kencang laju gasnya melewati Azita setelah lagi-lagi Azita di buat kesal karena
gagal menyapanya kali ini. Sialan!, batin Azita. Karena tidak mau memperburuk
suasana hatinya yang sudah ia tata sejak malam tadi, Azita mengambil earphone
di kantong jas seragamnya dan memutar sebuah lagu yang bisa mengembalikan mood
nya yang hampir hilang beberapa detik lalu. Azita pergi berjalan kaki melewati
pinggir jalanan, melihat suasana pagi yang berbeda dengan di kampungnya.
Biasanya ia disambut dengan pemandangan indah sawah dan sejuknya hawa
pengunungan. Tapi, ia tidak lagi merasakan sambutan pagi yang membuatnya nyaman
saat ini. Jalanan kota yang dipenuhi kendaran yang lalu lalang baik itu
kendaran pribadi atau kendaraan umum lainnya. Kota ini tampak dengan
orang-orang sibuk sampai-sampai mengabaikan sarapan pagi bersama keluarga tercinta. Namun, Azita
menikmati suasana baru ini. Ia bahkan tampak bahagia karena ia bisa merasa
bebas dan bisa melakukan apapun yang ia lakukan tanpa ada yang melarangnya
seperti ayah dan ibunya di kampung. Hidup mandiri itu menyenangkan!
SMA Airlangga
Azita tiba di sekolah
barunya. Ia baru tahu kalau sekolah yang sudah pamannya pilih untuknya adalah
sekolah elit! Kok bisa sih, paman memilih sekolah ini? Terus gimana caranya
paman masukkin dia di sini? Pertanyaan untuk pamannya muncul di benak Azita ketika
baru saja melewati gerbang sekolah itu. Azita terbelalak melihat bangunan
sekolah yang berdiri megah dan kokoh, jauh seperti yang ia bayangkan
sebelumnya. Ia tidak menyangka akan bersekolah di tempat semewah dan semegah
ini! Dia hanya siswi biasa dari sekolah kampung dan terlihat amat biasa. Azita
melihat pemandangan yang ada dihadapannya sekarang. Seluruh siswa di sekolah
ini kelihatannya berasal dari keluarga konglomerat. Terlihat dari kendaraan
pribadi yang sejak tadi silih berganti masuk ke halaman sekolah. Aksesoris yang
dikenakan semua siswi di sekolah ini juga tampak mahal! Azita memandangi
dirinya yang hanya mengenakan seragam sekolah, kaus kaki, dan sepatu kets yang
bukan brand terkenal seperti yang dikenakan oleh banyak siswa disini.
Angan-angannya untuk menjadi siswi populer seperti malam tadi kelihatannya jauh
menggapai langit. Gak bakalan bisalah orang kayak gini bisa nandingin
orang-orang yang sekarang akan satu sekolah serta berbagi masa SMA dengannya!
Saat Azita berjalan lurus ke
depan menuju gedung sekolah, Azita ditabrak oleh siswa laki-laki berbadan besar
dan tampak terburu-buru. Azita meringis kesakitan memegang bahu kirinya baru
saja ditabrak kuda nil berseragam.
“Ada apa nih?”, kata Azita
kaget melihat kerumunan siswa laki-laki keluar dari gedung sekolah menuju
gerbang dengan membawa peralatan seperti kayu, linggis, dan lebih parahnya lagi
gergaji sama pedang!
“Woii!minggir! mau mati
lo??!!”, seseorang meneriakinya tanpa ia tahu siapa yang baru saja menyuruhnya
untuk minggir.
Tawuran! Azita baru
menyadari hal tersbut ketika menoleh ke belakang. Ia mendapati segerombolan
siswa berseragam berbeda dengan dirinya sedang merusaki gerbang sekolah.
Anak-anak sekolah elit tahu juga yang namanya tawuran.
“Duhh..pagi-pagi udah
tawuran aja”, tiba-tiba seseorang sudah berdiri disebelah Azita dan menarik
Azita ke tempat yang aman. Tanpa bertanya siapa orang yang menariknya saat ini,
Azita memilih untuk mengikuti kemana ia akan dibawa oleh siswa laki-laki ini.
Azita ditarik masuk ke dalam
sebuah kelas yang sudah di penuhi oleh siswa yang sedang asyik menikmati
pemandangan di luar gedung.
“Tawuran lagi? Wah.. gak ada
kapok-kapoknya mereka udah dibuat babak belur sama Revan Cs!”, kata salah
seorang siswa dikelas itu.
Laki-laki yang membawa Azita
kekelas ini melepaskan genggamannya dari tangan Azita. Azita masih dengan nafas
terengah-engah setelah diajak berlari naik tangga oleh orang ini. Laki-laki itu
menatap Azita dan melihat pin nama di jasnya.
“Kamu anak baru itu kan?
Keponakannya paman Doni?”, tanya laki-laki itu.
“Tahu dari mana?”,tanya
Azita balik bertanya ketika nafasnya kembali normal.
“Kenalin, aku Radit. Raditya
Pamungkas. Bentar lagi kita sepupuan”, kata Radit dengan tersenyum tipis.
“Kamu anaknya tante
Mari ya? Kok paman gak bilang apa-apa sama
aku?”, kata Azita bingung.
“Yang jelas, aku udah
ngenalin diri ke kamu. Aku harap kita bisa jaga jarak. Anggap aja gak saling
kenal”
“Loh,kok kamu bilang gitu
sih? Emangnya kenapa?”
Radit meninggalkan Azita
yang masih kebingungan. Ia menatap kepergian Radit dengan kesal. Belum sempat
Azita mengenalkan diri dia udah pergi walaupun ia sudah tahu siapa Azita, tapi
kesan pertamanya sebagai calon sepupu tu resek banget! Sama reseknya kayak
tetangga sebelahnya sekarang ini!
***