Kamis, 29 Oktober 2015

My Enemy, My Lovely



Matahari tampak bersinar cerah, akhirnya gadis yang hari ini sedang berulang tahun yang ke 17 tiba di rumah kontrakan yang tidak jauh dari sekolah barunya. Ya, Azita baru saja menginjakkan kakinya ke kota setelah ia meninggalkan kampung halamannya dan melanjutkan SMA nya disini. Berat rasanya meninggalkan orang-orang yang ia sayangi di kampung, tapi karena orang tuanya menginginkan yang terbaik untuk masa depan anak semata wayangnya, Azita terpaksa harus hidup mandiri dan mewujudkan impiannya menjadi seorang pelukis.
“Jadi ini rumah kontrakanku”, katanya setelah mencocokkan alamat serta nomor rumah yang tertera di pagar yang terbuat dari beton itu. Tapi, Azita menoleh ke rumah tepat di sebelah rumah kontrakannya.
“Rumah itu nomor 19 juga?”, kataku bingung.
Azita melihat sosok laki-laki yang tampak sebaya dengannya baru saja tiba di depan rumah tersebut. Ia memberhentikan motornya untuk membuka pagar rumah. Azita memandang laki-laki yang bertubuh tinggi menjulang kira-kira 180cm. Jika Azita berdiri disampingnya, ia akan tampak kerdil dengan tubuhnya yang hanya 150cm saja. Pendek bukan untuk ukuran seorang wanita? Paling tidak kan untuk wanita minimal 160cm.
Azita bermaksud menyapa laki-laki tinggi itu sebelum ia masuk ke dalam rumah, tetapi laki-laki itu langsung menarik laju gas motor sport warna hitam tersebut mengabaikan Azita yang sedang berlari menghampirinya.
“Hei, tunggu! Bisakah aku menanyakan sesuatu padamu?”, teriak Azita saat ia berusaha menghampiri laki-laki itu.
Tapi pagar rumah langsung ditutup dan dikunci saat pemilik rumah megah tersebut masuk kerumah. Azita tampak kesal dengan orang yang akan menjadi tetangganya kelak. Baru bertemu hari ini saja sudah menampakkan kesan buruk bagi Azita. Azita menendang pagar itu dengan kaki kanannya. Tidak terasa sakit karena pagar itu pagar besi dan ia mengenakan ujung sepatu kets nya yang cukup keras.
“Sialan, mimpi apa aku semalam sampai bertemu orang menyebalkan seperti dia”
Azita tidak memperdulikan nomor rumah kontrakan ia dengan rumah megah disebelahnya itu. Sama, tapi kelihatan kok yang mana rumah kontrakan dan yang bukan! Mana ada rumah kontrakan semegah dan berarsitektur kelas Eropa dihargai hanya 5 juta rupiah? Kecuali kalau rumah itu udah jadi sarang hantu!
***
Azita duduk di meja belajarnya sambil main game di laptopnya. Bukannya membuka buku pelajaran malah asyik main game. Azita bukan anak yang pandai di sekolah, apalagi menyangkut pelajaran. Ia bukan siswi yang menonjol dengan segudang prestasi akademik maupun non akademik. Ia siswi yang biasa-biasa saja tapi bukan berarti yang menjadi terbawah di sekolahnya. Namun, Azita kelihatannya mulai bosan dengan kehidupan yang ia jalani saat ini. Ia ingin mencoba bagaimana menjadi siswi yang memiliki banyak keahlian dan pandai di setiap pelajaran. Karena besok ia akan mulai dengan identitas sebagai siswi baru di SMA Airlangga, ia ingin membuat terobosan baru dalam hidupnya. Sekali-sekali kan gimana sih rasanya jadi orang populer dan banyak disukai oleh semua orang? Azita membayangkan bagaimana ia besok dengan seragam barunya, teman barunya, dan lingkungan sekolah yang terasa asing baginya. Makin lama mata Azita mulai terpejam dan ia segera pergi tidur.
Keesokan paginya, Azita sudah bersiap-siap segera berangkat ke sekolah. Ia berulang kali menatap dirinya di cermin kamarnya. Seragamnya terlihat sangat rapi dan bersih serta rambunya yang sengaja ia gerai indah sebatas bahunya. Azita tidak begitu suka menghiasi rambutnya dengan jepit rambut dan bando. Jika ia memakainya ia tampak seperti anak kecil begitulah kata-kata temannya saat masih sekolah di kampung setahun yang lalu.       
Azita sudah sangat siap pergi ke sekolah!
“Eh, kau?”, kataku kaget tetangga menyebalkan baru saja keluar dari rumah dengan motor sport hitam. Ia memakai helm dengan kaca hitam sehingga Azita tidak bisa melihat seperti apa wajah tetangganya itu sejak kemarin. Laki-laki itu mengenakan jaket kulit hitam dan segera naik ke motornya setelah menutup pintu pagar rumah. Ia menarik kencang laju gasnya melewati Azita setelah lagi-lagi Azita di buat kesal karena gagal menyapanya kali ini. Sialan!, batin Azita. Karena tidak mau memperburuk suasana hatinya yang sudah ia tata sejak malam tadi, Azita mengambil earphone di kantong jas seragamnya dan memutar sebuah lagu yang bisa mengembalikan mood nya yang hampir hilang beberapa detik lalu. Azita pergi berjalan kaki melewati pinggir jalanan, melihat suasana pagi yang berbeda dengan di kampungnya. Biasanya ia disambut dengan pemandangan indah sawah dan sejuknya hawa pengunungan. Tapi, ia tidak lagi merasakan sambutan pagi yang membuatnya nyaman saat ini. Jalanan kota yang dipenuhi kendaran yang lalu lalang baik itu kendaran pribadi atau kendaraan umum lainnya. Kota ini tampak dengan orang-orang sibuk sampai-sampai mengabaikan sarapan pagi  bersama keluarga tercinta. Namun, Azita menikmati suasana baru ini. Ia bahkan tampak bahagia karena ia bisa merasa bebas dan bisa melakukan apapun yang ia lakukan tanpa ada yang melarangnya seperti ayah dan ibunya di kampung. Hidup mandiri itu menyenangkan!
SMA Airlangga
Azita tiba di sekolah barunya. Ia baru tahu kalau sekolah yang sudah pamannya pilih untuknya adalah sekolah elit! Kok bisa sih, paman memilih sekolah ini? Terus gimana caranya paman masukkin dia di sini? Pertanyaan untuk pamannya muncul di benak Azita ketika baru saja melewati gerbang sekolah itu. Azita terbelalak melihat bangunan sekolah yang berdiri megah dan kokoh, jauh seperti yang ia bayangkan sebelumnya. Ia tidak menyangka akan bersekolah di tempat semewah dan semegah ini! Dia hanya siswi biasa dari sekolah kampung dan terlihat amat biasa. Azita melihat pemandangan yang ada dihadapannya sekarang. Seluruh siswa di sekolah ini kelihatannya berasal dari keluarga konglomerat. Terlihat dari kendaraan pribadi yang sejak tadi silih berganti masuk ke halaman sekolah. Aksesoris yang dikenakan semua siswi di sekolah ini juga tampak mahal! Azita memandangi dirinya yang hanya mengenakan seragam sekolah, kaus kaki, dan sepatu kets yang bukan brand terkenal seperti yang dikenakan oleh banyak siswa disini. Angan-angannya untuk menjadi siswi populer seperti malam tadi kelihatannya jauh menggapai langit. Gak bakalan bisalah orang kayak gini bisa nandingin orang-orang yang sekarang akan satu sekolah serta berbagi masa SMA dengannya!
Saat Azita berjalan lurus ke depan menuju gedung sekolah, Azita ditabrak oleh siswa laki-laki berbadan besar dan tampak terburu-buru. Azita meringis kesakitan memegang bahu kirinya baru saja ditabrak kuda nil berseragam.
“Ada apa nih?”, kata Azita kaget melihat kerumunan siswa laki-laki keluar dari gedung sekolah menuju gerbang dengan membawa peralatan seperti kayu, linggis, dan lebih parahnya lagi gergaji sama pedang!
“Woii!minggir! mau mati lo??!!”, seseorang meneriakinya tanpa ia tahu siapa yang baru saja menyuruhnya untuk minggir.
Tawuran! Azita baru menyadari hal tersbut ketika menoleh ke belakang. Ia mendapati segerombolan siswa berseragam berbeda dengan dirinya sedang merusaki gerbang sekolah. Anak-anak sekolah elit tahu juga yang namanya tawuran.
“Duhh..pagi-pagi udah tawuran aja”, tiba-tiba seseorang sudah berdiri disebelah Azita dan menarik Azita ke tempat yang aman. Tanpa bertanya siapa orang yang menariknya saat ini, Azita memilih untuk mengikuti kemana ia akan dibawa oleh siswa laki-laki ini.
Azita ditarik masuk ke dalam sebuah kelas yang sudah di penuhi oleh siswa yang sedang asyik menikmati pemandangan di luar gedung.
“Tawuran lagi? Wah.. gak ada kapok-kapoknya mereka udah dibuat babak belur sama Revan Cs!”, kata salah seorang siswa dikelas itu.
Laki-laki yang membawa Azita kekelas ini melepaskan genggamannya dari tangan Azita. Azita masih dengan nafas terengah-engah setelah diajak berlari naik tangga oleh orang ini. Laki-laki itu menatap Azita dan melihat pin nama di jasnya.
“Kamu anak baru itu kan? Keponakannya paman Doni?”, tanya laki-laki itu.
“Tahu dari mana?”,tanya Azita balik bertanya ketika nafasnya kembali normal.
“Kenalin, aku Radit. Raditya Pamungkas. Bentar lagi kita sepupuan”, kata Radit dengan tersenyum tipis.
“Kamu anaknya tante Mari  ya? Kok paman gak bilang apa-apa sama aku?”, kata Azita bingung.
“Yang jelas, aku udah ngenalin diri ke kamu. Aku harap kita bisa jaga jarak. Anggap aja gak saling kenal”
“Loh,kok kamu bilang gitu sih? Emangnya kenapa?”
Radit meninggalkan Azita yang masih kebingungan. Ia menatap kepergian Radit dengan kesal. Belum sempat Azita mengenalkan diri dia udah pergi walaupun ia sudah tahu siapa Azita, tapi kesan pertamanya sebagai calon sepupu tu resek banget! Sama reseknya kayak tetangga sebelahnya sekarang ini!
***

inikaryaku


Hai para blogger semua. Perkenalkan aku Kurnia Secar panggil aja aku Kurnia. Aku termasuk blogger pemula disini. Aku iseng-iseng nge-blog karya-karya aku di sini. O ya, aku suka menulis lo, dan berimajinasi waktu aku lagi sendirian di kamar. Aku juga suka mendengarkan musik apalagi musik Kpop. Ada yang anak kpop gak nih? kalian suka lagu apa? aku harap kita bisa saling bertegur sapa lewat dunia maya ini. Oke deh, sekian perkenalan singkatku ini, aku publikasikan hasil karya 'iseng'ku. Semoga kalian suka ya, dan kalian bisa menyertakan komentar kalian. Happy reading^^